Rabu, 01 Mei 2013

Perubahan Besar Dunia Menuju Khilafah

Perubahan Besar Dunia Menuju Khilafah

Dunia terus berubah. Goncangan politik dan ekonomi menjadikan konstelasi dunia bergeser. Globalisasi yang ditandai dengan adanya saling ketergantungan antarnegara mengakibatkan dampak goncangan itu tak terbendung, menjalar ke semua negara.
Secara global, dunia masih dikuasai oleh adidaya Amerika Serikat. Di belakang AS ada negara-negara Eropa seperti Inggris dan Prancis. Meski secara politik internasional, negara Eropa ini terlihat mendukung setiap kebijakan AS, secara internal mereka memiliki kepentingan sendiri. Di luar itu, ada kekuatan baru, yakni Rusia dan Cina. Rusia mulai mengambil peran—kendati kecil—mengembalikan pengaruhnya pasca Uni Sovyet runtuh. Adapun Cina ingin tampil sebagai adidaya baru, khususnya di bidang ekonomi.
Namun, dalam lima tahun terakhir, kekuatan Barat mulai mengendur. Ini ditandai dengan berbagai krisis yang melanda beberapa kawasan. Di tempat tersebut, negara-negara besar tak lagi memiliki taring untuk menyesaikan persoalan sesuai dengan skenarionya. Geliat kontra intervensi menandai kian lemahnya pengaruh kekuatan Barat tersebut.
Adidaya Tak Berdaya
Amerika sebagai adidaya dunia, sejak George W Bush, mulai berada di ambang kemunduran.  Politik stick and carrot memaksa negara-negara di dunia mengikuti kebijakan Amerika, benar maupun salah. Awalnya, politik ini cukup sukses. Namun, dengan berjalannya waktu, kekuatan memaksa ini pun melemah. Negara-negara sekutu Amerika mulai sadar tentang kekuatan nyata Amerika ini. Pelan tapi pasti mereka menarik diri dari persekutuan dengan Amerika dan berusaha mengambil alih pengaruh Amerika.
Fakta tersebut terlihat jelas dalam perang di Irak dan Afganistan. Negara-negara yang tergabung dalam NATO lebih dulu meninggalkan medan perang di kedua negara itu dan membiarkan Amerika sendirian di sana. Kalaupun ada pasukan NATO dari luar Amerika, jumlahnya tinggal sedikit. Yang dominan tetap tentara AS.
Di Irak, sejak era Barack Obama, Amerika mulai ngos-ngosan. Tentara AS tak mampu memadamkan perlawanan rakyat di Negeri 1001 Malam itu. Irak yang diimpikan oleh Amerika akan menjadi negeri yang lebih baik dibanding era Saddam Husein, justru tambah buruk dan hancur. Ditambah lagi, tuduhan terhadap rezim Saddam tak pernah terbukti. Pemerintahan boneka yang dibentuk AS pun tak berdaya. Biaya Perang Irak yang mencapai lebih dari 1 triliun dolar telah membebani anggaran Amerika.
Di Afganistan, kondisinya tak jauh berbeda. Tentara Amerika tak mampu mengalahkan para pejuang Taliban. Ini diakui sendiri oleh pejabat tinggi militernya. Komandan militer AS, Laksamana Michael Mullen, mengatakan bahwa dirinya tidak tahu persis berapa lama waktu yang diperlukan bagi AS agar mampu meningkatkan “keamanan” di Afganistan dan menyingkirkan para pejuang Taliban. Ia menggambarkan  para pejuang Taliban bertempur dengan lebih gigih dan lebih terorganisir.
Maka dari itu, Amerika kembali mengerahkan 43.000 prajurit untuk menambah 35.000 orang pasukan yang ada di Afganistan. Tentara itu berasal dari penarikan pasukan yang ada di Irak. Perang di Afganistan ini kian sulit karena NATO justru menarik pasukannya sejak pertengahan 2011 secara bertahap.
Di dalam negeri sendiri, Amerika menghadapi krisis ekonomi yang makin berat. Utang AS terus berjibun. Pengangguran terus bertambah. Kemiskinan menjadi fenomena yang tak terelakkan. Dalam kondisi seperti ini, muncul gerakan “Occupy Wall Street” pada September 2011. Gerakan rakyat itu lahir akibat meluasnya kemiskinan, pengangguran, kesenjangan sosial dan ketidakadilan di masyarakat serta ketidakpuasan publik terhadap kebijakan haus perang para penguasanya.
Kalau dulu, biasanya demonstran hanya memprotes ketidakefesienan ekonomi kapitalis seperti pengangguran, inflasi dan tingginya pajak, namun teriakan ini langsung memprotes prinsip dan dasar Kapitalisme. Hal itu terlihat dalam slogan-slogan yang mereka usung seperti “Wall Street harus di hancurkan sebelum menghancurkan dunia” dan “Dunia cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tetapi tidak cukup memenuhi ketamakan setiap orang”.
Indikasi melemahnya kekuatan Amerika di dalam dan luar negeri ini menjadikan Israel khawatir. Dalam sebuah wawancara yang diterbitkan koran Sydney Morning Herald, Selasa (12/4/2012), Deputi Perdana Menteri dan Menteri Intelijen dan Energi Nuklir Israel Dan Meridor khawatir dengan kondisi pelindung Israel tersebut. Ia mengatakan, Amerika melemah bukan pertanda baik. “Saya berharap Amerika akan menemukan jalan dan saya percaya mereka bisa memulihkan dirinya sebagai negara adidaya.”
Demam Krisis Eropa
Boleh saja negara-negara Eropa masih memiliki peran sentral di belakang Amerika di berbagai kawasan. Namun sebenarnya, mereka pun sedang menghadapi krisis utang. Ini adalah babak baru ekonomi negara-negara Eropa menuju resesi. Krisis ini pada perkembangan-nya melanda hampir seluruh  negara Eropa pengguna mata uang Euro. Krisis itu berawal dari kredit macet di Yunani yang kemudian berdampak luas bagi negara-negara Eropa lain. Negara-negara penyokong ekonomi Eropa seperti Jerman, Prancis dan Italia juga terkena imbas dari krisis tersebut. Euro kemudian tertekan dan mengakibatkan penurunan angka pertumbuhan ekonomi negara-negara di zona Euro.
Ini adalah hal yang tak diprediksi sebelumnya. Perjalanan sejarah Uni Eropa nyaris penuh dengan keberhasilan. Tahun 1995 hampir seluruh negara Eropa Barat bergabung. Tahun 1998 sistem keuangan
Eropa terintegrasi dalam mata uang tunggal: Euro. Tahun 2004 bertambah lagi 10 negara anggota baru. Mereka adalah negara-negara eks-komunis Eropa Timur. Ini menjadikan Uni Eropa sebagai kekuatan ekonomi besar di dunia.
Krisis ekonomi ini mau tak mau berimbas pada krisis politik. Yunani, sebagai negara tempat kelahiran demokrasi, kacau balau. Rakyat negeri tersebut marah dan melampiaskan kemarahannya dengan merusak fasilitas umum yang ada, termasuk gedung-gedung pemerintah. Pergantian rezim tak terelakkan. Namun, krisis terus berlangsung.
Italia pun mengalami goncangan politik di dalam negeri. Perdana Menteri negeri itu terpaksa lengser.  Para analis memperkirakan, kondisi Italia jauh lebih parah dibandingkan krisis di Yunani. Hal yang sama melanda Prancis. Perdana Menteri Nicolas Sarkozy pun tak bisa bertahan. Menurut pengamat, krisis Prancis diprediksi terburuk sejak kejatuhan bursa Prancis pada 1882, dikenal Paris Bourse CrAsh.
Inggris yang sepi pemberitaan tak kalah dahsyatnya menghadapi goncangan krisis ini. Baru-baru ini televisi Jerman, Zweites Deutsches Fernsehen (ZDF), melaporkan dampak krisis finansial yang melanda Inggris. “Rakyat Inggris setiap hari semakin terperosok dalam jurang kemiskinan yang tidak pernah terjadi sebelumnya,” kata jurnalis ZDF.
Tahun 2011, Badan Statistik Eropa, Eurostat, dalam laporannya mengungkapkan meningkat-nya angka kemiskinan di negara-negara Uni Eropa. Dilaporkan sedikitnya 81 juta warga dari 27 negara anggota zona itu terancam miskin. Ironisnya, 19 juta di antaranya berasal dari kalangan anak-anak. Jumlah warga miskin itu mengambil porsi 17 persen dari total populasi penduduk Eropa. Selain itu, Eropa juga masih memiliki 42 juta orang lainnya dengan kemampuan finansial sangat minim hingga tidak mampu membayar tagihan ataupun mengha-ngatkan rumahnya sewaktu musim dingin.
Kini, dampak krisis ekonomi di Eropa semakin menggurita. Media Eropa sendiri mengungkapkan fakta terbarunya tentang kemiskinan yang merambah negara-negara Eropa utara. Tidak tanggung-tanggung, krisis tersebut menghantam negara yang menjadi acuan penerapan Walfare State (Negara Kesejahteraan)  di dunia. Ini menjadi indikasi: Kapitalisme di ujung kebangkrutan.
Arab Spring
Di tengah kondisi negara-negara Barat yang mulai lemah, kebangkitan lahir di kawasan Timur Tengah. Rakyat bergerak melawan penguasa mereka dengan berbagai tuntutan; mulai dari perbaikan ekonomi, pemberantasan korupsi hingga pergantian pemerintahan. Memang, hampir semua negara-negara Arab ini dipimpin oleh para diktator selama bertahun-tahun. Begitu tuntutan itu tak dipenuhi, rakyat bergerak dengan caranya sendiri.
Dimulai dari Tunisia, gerakan rakyat yang kemudian dikenal sebagai ‘Arab Spring’ menjalar ke berbagai negara di kawasan tersebut. Gerakan yang dimulai Januari 2011 itu berlangsung hingga kini. Korban pertama Arab Spring ini adalah Presiden Tunisia Zainal Abidin bin Ali.
Meski gerakan Arab Spring ini tidak bisa dilepaskan dari perebutan pengaruh politik antara Amerika dan Eropa, fakta di kawasan Timur Tengah menunjukkan kondisi rakyat yang tertekan dan menderita. Itulah yang menjadikan mengapa Arab Spring itu meluas hampir ke semua negara di kawasan tersebut.
Di Libya, rakyat memaksa Presiden Libya Muamar Qaddafi turun dari tampuk kekuasaan dengan cara yang tragis. Qaddafi yang dikenal sangat kejam itu dibunuh oleh rakyatnya sendiri.
Di Mesir, Husni Mubarak akhirnya menjadi pesakitan setelah dipaksa turun oleh rakyatnya.
Arab Spring di beberapa negara kawasan itu berhasil diredam dengan berbagai jalan, termasuk dengan cara represif. Ada yang berhasil, tetapi ada yang gagal. Di Arab Saudi, gerakan rakyat dipatahkan dengan tindakan represif. Di Suriah, perjuangan rakyat terus berlangsung hingga memasuki tahun ketiga. Presiden Bashar Assad tidak mau melakukan perubahan dan justru membunuh rakyatnya sendiri.
Nah, pergolakan di Arab ini sangat mengkhawatirkan Amerika. Karena itu, AS dan sekutunya berusaha untuk mengontrol perubahan di Arab dengan membajaknya. Melalui penguasa baru yang tidak lain adalah antek AS, berbagai kebijakan AS untuk membajak perubahan hingga sejalan dengan kepentingan AS bisa direalisasikan.  Visi perubahan AS untuk Arab Spring—berupa sekularisme berbalut Islam—dengan menggiring perubahan ke arah demokratisasi (negara demokrasi sekuler) bisa diwujudkan. Visi ini cukup sukses, paling tidak di beberapa negara, dalam menyesatkan sebagian umat Islam yang tidak sadar menganggap ide-ide demokrasi dan sekular itu sejalan dengan Islam. Inilah yang terjadi di Tunisia, Yaman, Libya, dan Mesir.
Namun, strategi AS ini tidak berjalan di Suriah. Hingga saat ini AS belum mendapatkan pengganti yang mapan untuk rezim Assad. Apalagi pasukan perlawanan rakyat Suriah di lapangan didominasi kelompok Mujahidin yang menyerukan penegakan syariah dan Khilafah di Suriah, dan menolak sistem demokrasi yang ditawarkan AS.
Sekutu terdekat AS, Israel, takut bukan main setelah melihat gabungan kelompok Mujahidin Suriah yang berperang langsung melawan rezim bengis Assad, sekaligus menolak Koalisi Nasional untuk Revolusi Suriah dan Pasukan Oposisi, aliansi baru yang dibentuk pada pertemuan di Qatar pada 11 November 2012 lalu. Berbagai upaya telah dicoba oleh AS untuk  membajak perlawanan rakyat Suriah agar tetap dalam kerangka kepentingan AS. Namun, semua upaya Amerika itu gagal.
Menginginkan Islam
Satu fenomena menarik yang mewarnai perjuangan rakyat di Dunia Islam adalah semangat Islam. Ini yang terlihat dalam Arab Spring. Rakyat menginginkan Islam. Mereka menggunakan simbol-simbol Islam. Mereka menginginkan Islam. Mereka pun menyadari bahwa upaya mereka juga menghadapi kendala dari negara kafir Barat berupa pembelokan ke arah yang diinginkan Barat.
Di Suriah, rakyat sangat memahami apa yang terjadi di negara tetangganya seperti Tunisia, Libya dan Mesir. Mereka tak mau kejadian yang sama melanda negeri itu. Mereka terus berjuang dengan kemampuannya sendiri melawan pemerintah bengis Assad meski dengan senjata seadanya.
Dengan tegas mereka menolak negara demokrasi yang ditawarkan antek-antek Barat. Mereka menolak kompromi dengan Assad dan juga kalangan oposisi pro Barat. Mereka menolak ‘Negara Madani’ ala Barat. Dengan tegas mereka menyatakan keinginannya untuk menegakkan Khilafah di Suriah.
Sikap tegas rakyat Suriah ini menjadi magnet bagi kaum Muslim di berbagai kawasan lain di dunia untuk membantu rakyat Suriah. Mujahidin dari berbagai negara masuk ke negeri itu. Mereka tak lagi memandang bangsa dan ras. Mereka berjuang untuk tegaknya Khilafah.
Dukungan untuk tegaknya syariah Islam ini memang tak bisa dibendung. Telah muncul kesadaran bersama akan kewajiban menegakkan Islam dalam naungan Khilafah di negeri-negeri Islam. Hal itu bisa dinilai dari berbagai survei.
Hasil survei British Council yang dipublikasikan awal April ini menunjukkan, pemuda Pakistan lebih memilih hukum Islam dibandingkan dengan demokrasi. Lebih dari separuh dari 5.000 responden berusia 18-29 tahun yang disurvei mengatakan, demokrasi Pakistan tidak baik. Selain itu, 94 persen mengaku Pakistan ke arah yang salah. Ketika responden diminta untuk memilih sistem politik terbaik, mereka menyukai dan memilih syariah Islam dan pemerintahan militer dibandingkan dengan demokrasi. “Generasi yang disurvei merasa pesimis, kecewa dengan demokrasi setelah lima tahun pemerintahan sipil,” kata wartawan BBC News di Islamabad, Pakistan seperti dikutip dari BBC News, Rabu (3/4).
Survei ini melengkapi survei-survei sebelumnya yang sampai pada kesimpulan bahwa keinginan kaum Muslim di berbagai kawasan untuk hidup di bawah naungan Islam terus mengalami peningkatan. Kesadaran ini tidak hanya terjadi di negeri berpenduduk mayoritas Muslim, tetapi juga di Barat.
Di Dunia Islam, mulai muncul kesadaran bahwa sistem demokrasi-kapitalisme tidak memberikan ruang bagi penerapan syariah Islam secara kaffah. Selama ini mereka merasakan dengan sendirinya bagaimana sistem itu gagal menyelesaikan persoalan umat. Kesadaran ini juga didukung oleh pemahaman kaum Muslim yang makin meningkat terhadap Islam. Dakwah Islam yang menyerukan penerapan syariah dan Khilafah menjadi salah satu pendorong kesadaran tersebut muncul.
Butuh Khilafah
Secara empiris, problematika kaum Muslim di berbagai penjuru dunia saat ini tidak bisa diselesaikan oleh sistem yang ada. Muslim Rohingya, Palestina dan di berbagai belahan dunia Islam lainnya, hidup dalam dekapan penderitaan tiap hari. Amerika dan Barat justru membiarkan kondisi tersebut. Sekat-sekat nation-state (negara-bangsa) telah menghalangi kaum Muslim untuk saling membantu satu sama lain.
Kaum Muslim yang hidup di kawasan yang menghasilkan 70 persen kekayaan alam dunia hidup tidak sejahtera dan dilingkupi keserakahan dunia Barat. Belum lagi sebagian dari mereka harus berhadapan langsung dengan moncong senjata Barat tanpa ada yang membantunya.
Walhasil, kebangkitan Dunia Islam adalah mutlak. Jika pada masa lalu, kemunduran Islam itu diakibatkan oleh sikap kaum Muslim meninggalkan ajaran Islam, maka kesadaran baru kaum Muslim untuk memegang erat Islam menjadi katalisator kebangkitan Islam.
Penulis Amerika, Profesor Noah Feldman dari Harvard, menyatakan bahwa kemunduran syariah Islam pada masa lalu akan diikuti dengan kebangkitan syariah Islam, suatu proses yang berakhir pada terbentuknya Khilafah Islam. Dalam bukunya yang terbit pada tahun 2008 berjudul, Kejatuhan dan Kebangkitan Negara Islam, ia menuturkan, beberapa kondisi tertentu diperlukan untuk memenuhi proses kebangkitan. Negara Islam akan menerapkan keadilan bagi umat. Namun, negara tersebut tidak bisa dibangun dengan menerapkan sistem lama; harus mengenalkan sistem yang baru.
Nah, kesadaran kaum Muslim untuk menegakkan syariah dalam bingkai Khilafah Islam makin meningkat. Kaum Muslim sudah mulai menyadari bahwa ketiadaan kehidupan islami yang di dalamnya diterapkan syariah Islam oleh negara adalah sebuah kesalahan. Keruntuhan Daulah Khilafah Islam pada 1924 sesungguhnya merupakan umm al-jara-’im (induk kejahatan). Ketiadaan Khilafah Islam adalah pangkal dari segala malapetaka,  kerusakan dan problem yang menimpa umat Islam di seluruh dunia. Mereka pun mulai sadar bahwa ada kewajiban dari Allah SWT untuk berhukum pada hukum-hukum Allah secara kaffah. Itu tidak akan mungkin tanpa institusi Islam yang menerapkannya secara global, yakni Khilafah.
Walhasil, perubahan menuju Khilafah adalah sebuah keniscayaan. Inilah yang harus dikawal oleh seluruh kaum Muslim hingga Kekhilafahan itu tegak. [Humaidi]

0 komentar :