Perubahan Besar Dunia Menuju Khilafah
Perubahan Besar Dunia Menuju Khilafah
Dunia terus
berubah. Goncangan politik dan ekonomi menjadikan konstelasi dunia
bergeser. Globalisasi yang ditandai dengan adanya saling ketergantungan
antarnegara mengakibatkan dampak goncangan itu tak terbendung, menjalar
ke semua negara.
Secara global, dunia masih dikuasai oleh
adidaya Amerika Serikat. Di belakang AS ada negara-negara Eropa seperti
Inggris dan Prancis. Meski secara politik internasional, negara Eropa
ini terlihat mendukung setiap kebijakan AS, secara internal mereka
memiliki kepentingan sendiri. Di luar itu, ada kekuatan baru, yakni
Rusia dan Cina. Rusia mulai mengambil peran—kendati kecil—mengembalikan
pengaruhnya pasca Uni Sovyet runtuh. Adapun Cina ingin tampil sebagai
adidaya baru, khususnya di bidang ekonomi.
Namun, dalam lima tahun terakhir,
kekuatan Barat mulai mengendur. Ini ditandai dengan berbagai krisis yang
melanda beberapa kawasan. Di tempat tersebut, negara-negara besar tak
lagi memiliki taring untuk menyesaikan persoalan sesuai dengan
skenarionya. Geliat kontra intervensi menandai kian lemahnya pengaruh
kekuatan Barat tersebut.
Adidaya Tak Berdaya
Amerika sebagai adidaya dunia, sejak George W Bush, mulai berada di ambang kemunduran. Politik stick and carrot memaksa negara-negara di dunia mengikuti
kebijakan Amerika, benar maupun salah. Awalnya, politik ini cukup
sukses. Namun, dengan berjalannya waktu, kekuatan memaksa ini pun
melemah. Negara-negara sekutu Amerika mulai sadar tentang kekuatan nyata
Amerika ini. Pelan tapi pasti mereka menarik diri dari persekutuan
dengan Amerika dan berusaha mengambil alih pengaruh Amerika.
Fakta tersebut terlihat jelas dalam
perang di Irak dan Afganistan. Negara-negara yang tergabung dalam NATO
lebih dulu meninggalkan medan perang di kedua negara itu dan membiarkan
Amerika sendirian di sana. Kalaupun ada pasukan NATO dari luar Amerika,
jumlahnya tinggal sedikit. Yang dominan tetap tentara AS.
Di Irak, sejak era Barack Obama, Amerika mulai ngos-ngosan.
Tentara AS tak mampu memadamkan perlawanan rakyat di Negeri 1001 Malam
itu. Irak yang diimpikan oleh Amerika akan menjadi negeri yang lebih
baik dibanding era Saddam Husein, justru tambah buruk dan hancur.
Ditambah lagi, tuduhan terhadap rezim Saddam tak pernah terbukti.
Pemerintahan boneka yang dibentuk AS pun tak berdaya. Biaya Perang Irak
yang mencapai lebih dari 1 triliun dolar telah membebani anggaran
Amerika.
Di Afganistan, kondisinya tak jauh
berbeda. Tentara Amerika tak mampu mengalahkan para pejuang Taliban. Ini
diakui sendiri oleh pejabat tinggi militernya. Komandan militer AS,
Laksamana Michael Mullen, mengatakan bahwa dirinya tidak tahu persis
berapa lama waktu yang diperlukan bagi AS agar mampu meningkatkan
“keamanan” di Afganistan dan menyingkirkan para pejuang Taliban. Ia
menggambarkan para pejuang Taliban bertempur dengan lebih gigih dan
lebih terorganisir.
Maka dari itu, Amerika kembali
mengerahkan 43.000 prajurit untuk menambah 35.000 orang pasukan yang ada
di Afganistan. Tentara itu berasal dari penarikan pasukan yang ada di
Irak. Perang di Afganistan ini kian sulit karena NATO justru menarik
pasukannya sejak pertengahan 2011 secara bertahap.
Di dalam negeri sendiri, Amerika
menghadapi krisis ekonomi yang makin berat. Utang AS terus berjibun.
Pengangguran terus bertambah. Kemiskinan menjadi fenomena yang tak
terelakkan. Dalam kondisi seperti ini, muncul gerakan “Occupy Wall
Street” pada September 2011. Gerakan rakyat itu lahir akibat meluasnya
kemiskinan, pengangguran, kesenjangan sosial dan ketidakadilan di
masyarakat serta ketidakpuasan publik terhadap kebijakan haus perang
para penguasanya.
Kalau dulu, biasanya demonstran hanya
memprotes ketidakefesienan ekonomi kapitalis seperti pengangguran,
inflasi dan tingginya pajak, namun teriakan ini langsung memprotes
prinsip dan dasar Kapitalisme. Hal itu terlihat dalam slogan-slogan yang
mereka usung seperti “Wall Street harus di hancurkan sebelum
menghancurkan dunia” dan “Dunia cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap
orang, tetapi tidak cukup memenuhi ketamakan setiap orang”.
Indikasi melemahnya kekuatan Amerika di
dalam dan luar negeri ini menjadikan Israel khawatir. Dalam sebuah
wawancara yang diterbitkan koran Sydney Morning Herald, Selasa
(12/4/2012), Deputi Perdana Menteri dan Menteri Intelijen dan Energi
Nuklir Israel Dan Meridor khawatir dengan kondisi pelindung Israel
tersebut. Ia mengatakan, Amerika melemah bukan pertanda baik. “Saya
berharap Amerika akan menemukan jalan dan saya percaya mereka bisa
memulihkan dirinya sebagai negara adidaya.”
Demam Krisis Eropa
Boleh saja negara-negara Eropa masih
memiliki peran sentral di belakang Amerika di berbagai kawasan. Namun
sebenarnya, mereka pun sedang menghadapi krisis utang. Ini adalah babak
baru ekonomi negara-negara Eropa menuju resesi. Krisis ini pada
perkembangan-nya melanda hampir seluruh negara Eropa pengguna mata uang
Euro. Krisis itu berawal dari kredit macet di Yunani yang kemudian
berdampak luas bagi negara-negara Eropa lain. Negara-negara penyokong
ekonomi Eropa seperti Jerman, Prancis dan Italia juga terkena imbas dari
krisis tersebut. Euro kemudian tertekan dan mengakibatkan penurunan
angka pertumbuhan ekonomi negara-negara di zona Euro.
Ini adalah hal yang tak diprediksi
sebelumnya. Perjalanan sejarah Uni Eropa nyaris penuh dengan
keberhasilan. Tahun 1995 hampir seluruh negara Eropa Barat bergabung.
Tahun 1998 sistem keuangan
Eropa terintegrasi dalam mata uang
tunggal: Euro. Tahun 2004 bertambah lagi 10 negara anggota baru. Mereka
adalah negara-negara eks-komunis Eropa Timur. Ini menjadikan Uni Eropa
sebagai kekuatan ekonomi besar di dunia.
Krisis ekonomi ini mau tak mau berimbas
pada krisis politik. Yunani, sebagai negara tempat kelahiran demokrasi,
kacau balau. Rakyat negeri tersebut marah dan melampiaskan kemarahannya
dengan merusak fasilitas umum yang ada, termasuk gedung-gedung
pemerintah. Pergantian rezim tak terelakkan. Namun, krisis terus
berlangsung.
Italia pun mengalami goncangan politik
di dalam negeri. Perdana Menteri negeri itu terpaksa lengser. Para
analis memperkirakan, kondisi Italia jauh lebih parah dibandingkan
krisis di Yunani. Hal yang sama melanda Prancis. Perdana Menteri Nicolas
Sarkozy pun tak bisa bertahan. Menurut pengamat, krisis Prancis
diprediksi terburuk sejak kejatuhan bursa Prancis pada 1882, dikenal Paris Bourse CrAsh.
Inggris yang sepi pemberitaan tak kalah dahsyatnya menghadapi goncangan krisis ini. Baru-baru
ini televisi Jerman, Zweites Deutsches Fernsehen (ZDF), melaporkan
dampak krisis finansial yang melanda Inggris. “Rakyat Inggris setiap
hari semakin terperosok dalam jurang kemiskinan yang tidak pernah
terjadi sebelumnya,” kata jurnalis ZDF.
Tahun 2011, Badan Statistik
Eropa, Eurostat, dalam laporannya mengungkapkan meningkat-nya angka
kemiskinan di negara-negara Uni Eropa. Dilaporkan sedikitnya 81 juta
warga dari 27 negara anggota zona itu terancam miskin. Ironisnya, 19
juta di antaranya berasal dari kalangan anak-anak. Jumlah warga miskin
itu mengambil porsi 17 persen dari total populasi penduduk Eropa. Selain
itu, Eropa juga masih memiliki 42 juta orang lainnya dengan kemampuan
finansial sangat minim hingga tidak mampu membayar tagihan ataupun
mengha-ngatkan rumahnya sewaktu musim dingin.
Kini, dampak krisis ekonomi di Eropa
semakin menggurita. Media Eropa sendiri mengungkapkan fakta terbarunya
tentang kemiskinan yang merambah negara-negara Eropa utara. Tidak
tanggung-tanggung, krisis tersebut menghantam negara yang menjadi acuan
penerapan Walfare State (Negara Kesejahteraan) di dunia. Ini menjadi indikasi: Kapitalisme di ujung kebangkrutan.
Arab Spring
Di tengah kondisi negara-negara Barat
yang mulai lemah, kebangkitan lahir di kawasan Timur Tengah. Rakyat
bergerak melawan penguasa mereka dengan berbagai tuntutan; mulai dari
perbaikan ekonomi, pemberantasan korupsi hingga pergantian pemerintahan.
Memang, hampir semua negara-negara Arab ini dipimpin oleh para diktator
selama bertahun-tahun. Begitu tuntutan itu tak dipenuhi, rakyat
bergerak dengan caranya sendiri.
Dimulai dari Tunisia, gerakan rakyat yang kemudian dikenal sebagai ‘Arab Spring’
menjalar ke berbagai negara di kawasan tersebut. Gerakan yang dimulai
Januari 2011 itu berlangsung hingga kini. Korban pertama Arab Spring ini adalah Presiden Tunisia Zainal Abidin bin Ali.
Meski gerakan Arab Spring ini
tidak bisa dilepaskan dari perebutan pengaruh politik antara Amerika dan
Eropa, fakta di kawasan Timur Tengah menunjukkan kondisi rakyat yang
tertekan dan menderita. Itulah yang menjadikan mengapa Arab Spring itu meluas hampir ke semua negara di kawasan tersebut.
Di Libya, rakyat memaksa Presiden Libya
Muamar Qaddafi turun dari tampuk kekuasaan dengan cara yang tragis.
Qaddafi yang dikenal sangat kejam itu dibunuh oleh rakyatnya sendiri.
Di Mesir, Husni Mubarak akhirnya menjadi pesakitan setelah dipaksa turun oleh rakyatnya.
Arab Spring di beberapa negara
kawasan itu berhasil diredam dengan berbagai jalan, termasuk dengan cara
represif. Ada yang berhasil, tetapi ada yang gagal. Di Arab Saudi,
gerakan rakyat dipatahkan dengan tindakan represif. Di Suriah,
perjuangan rakyat terus berlangsung hingga memasuki tahun ketiga.
Presiden Bashar Assad tidak mau melakukan perubahan dan justru membunuh
rakyatnya sendiri.
Nah, pergolakan di Arab ini sangat
mengkhawatirkan Amerika. Karena itu, AS dan sekutunya berusaha untuk
mengontrol perubahan di Arab dengan membajaknya. Melalui penguasa baru
yang tidak lain adalah antek AS, berbagai kebijakan AS untuk membajak
perubahan hingga sejalan dengan kepentingan AS bisa direalisasikan.
Visi perubahan AS untuk Arab Spring—berupa sekularisme berbalut
Islam—dengan menggiring perubahan ke arah demokratisasi (negara
demokrasi sekuler) bisa diwujudkan. Visi ini cukup sukses, paling tidak
di beberapa negara, dalam menyesatkan sebagian umat Islam yang tidak
sadar menganggap ide-ide demokrasi dan sekular itu sejalan dengan Islam.
Inilah yang terjadi di Tunisia, Yaman, Libya, dan Mesir.
Namun, strategi AS ini tidak berjalan di
Suriah. Hingga saat ini AS belum mendapatkan pengganti yang mapan untuk
rezim Assad. Apalagi pasukan perlawanan rakyat Suriah di lapangan
didominasi kelompok Mujahidin yang menyerukan penegakan syariah dan
Khilafah di Suriah, dan menolak sistem demokrasi yang ditawarkan AS.
Sekutu terdekat AS, Israel, takut bukan
main setelah melihat gabungan kelompok Mujahidin Suriah yang berperang
langsung melawan rezim bengis Assad, sekaligus menolak Koalisi Nasional
untuk Revolusi Suriah dan Pasukan Oposisi, aliansi baru yang dibentuk
pada pertemuan di Qatar pada 11 November 2012 lalu. Berbagai upaya telah
dicoba oleh AS untuk membajak perlawanan rakyat Suriah agar tetap
dalam kerangka kepentingan AS. Namun, semua upaya Amerika itu gagal.
Menginginkan Islam
Satu fenomena menarik yang mewarnai perjuangan rakyat di Dunia Islam adalah semangat Islam. Ini yang terlihat dalam Arab Spring.
Rakyat menginginkan Islam. Mereka menggunakan simbol-simbol Islam.
Mereka menginginkan Islam. Mereka pun menyadari bahwa upaya mereka juga
menghadapi kendala dari negara kafir Barat berupa pembelokan ke arah
yang diinginkan Barat.
Di Suriah, rakyat sangat memahami apa
yang terjadi di negara tetangganya seperti Tunisia, Libya dan Mesir.
Mereka tak mau kejadian yang sama melanda negeri itu. Mereka terus
berjuang dengan kemampuannya sendiri melawan pemerintah bengis Assad
meski dengan senjata seadanya.
Dengan tegas mereka menolak negara
demokrasi yang ditawarkan antek-antek Barat. Mereka menolak kompromi
dengan Assad dan juga kalangan oposisi pro Barat. Mereka menolak ‘Negara
Madani’ ala Barat. Dengan tegas mereka menyatakan keinginannya untuk
menegakkan Khilafah di Suriah.
Sikap tegas rakyat Suriah ini menjadi
magnet bagi kaum Muslim di berbagai kawasan lain di dunia untuk membantu
rakyat Suriah. Mujahidin dari berbagai negara masuk ke negeri itu.
Mereka tak lagi memandang bangsa dan ras. Mereka berjuang untuk tegaknya
Khilafah.
Dukungan untuk tegaknya syariah Islam
ini memang tak bisa dibendung. Telah muncul kesadaran bersama akan
kewajiban menegakkan Islam dalam naungan Khilafah di negeri-negeri
Islam. Hal itu bisa dinilai dari berbagai survei.
Hasil survei British Council yang
dipublikasikan awal April ini menunjukkan, pemuda Pakistan lebih memilih
hukum Islam dibandingkan dengan demokrasi. Lebih dari separuh dari
5.000 responden berusia 18-29 tahun yang disurvei mengatakan, demokrasi
Pakistan tidak baik. Selain itu, 94 persen mengaku Pakistan ke arah yang
salah. Ketika responden diminta untuk memilih sistem politik terbaik,
mereka menyukai dan memilih syariah Islam dan pemerintahan militer
dibandingkan dengan demokrasi. “Generasi yang disurvei merasa pesimis,
kecewa dengan demokrasi setelah lima tahun pemerintahan sipil,” kata
wartawan BBC News di Islamabad, Pakistan seperti dikutip dari BBC News, Rabu (3/4).
Survei ini melengkapi survei-survei
sebelumnya yang sampai pada kesimpulan bahwa keinginan kaum Muslim di
berbagai kawasan untuk hidup di bawah naungan Islam terus mengalami
peningkatan. Kesadaran ini tidak hanya terjadi di negeri berpenduduk
mayoritas Muslim, tetapi juga di Barat.
Di Dunia Islam, mulai muncul kesadaran
bahwa sistem demokrasi-kapitalisme tidak memberikan ruang bagi penerapan
syariah Islam secara kaffah. Selama ini mereka merasakan
dengan sendirinya bagaimana sistem itu gagal menyelesaikan persoalan
umat. Kesadaran ini juga didukung oleh pemahaman kaum Muslim yang makin
meningkat terhadap Islam. Dakwah Islam yang menyerukan penerapan syariah
dan Khilafah menjadi salah satu pendorong kesadaran tersebut muncul.
Butuh Khilafah
Secara empiris, problematika kaum Muslim
di berbagai penjuru dunia saat ini tidak bisa diselesaikan oleh sistem
yang ada. Muslim Rohingya, Palestina dan di berbagai belahan dunia Islam
lainnya, hidup dalam dekapan penderitaan tiap hari. Amerika dan Barat
justru membiarkan kondisi tersebut. Sekat-sekat nation-state (negara-bangsa) telah menghalangi kaum Muslim untuk saling membantu satu sama lain.
Kaum Muslim yang hidup di kawasan yang
menghasilkan 70 persen kekayaan alam dunia hidup tidak sejahtera dan
dilingkupi keserakahan dunia Barat. Belum lagi sebagian dari mereka
harus berhadapan langsung dengan moncong senjata Barat tanpa ada yang
membantunya.
Walhasil, kebangkitan Dunia Islam adalah
mutlak. Jika pada masa lalu, kemunduran Islam itu diakibatkan oleh
sikap kaum Muslim meninggalkan ajaran Islam, maka kesadaran baru kaum
Muslim untuk memegang erat Islam menjadi katalisator kebangkitan Islam.
Penulis Amerika, Profesor Noah
Feldman dari Harvard, menyatakan bahwa kemunduran syariah Islam pada
masa lalu akan diikuti dengan kebangkitan syariah Islam, suatu proses
yang berakhir pada terbentuknya Khilafah Islam. Dalam bukunya yang
terbit pada tahun 2008 berjudul, Kejatuhan dan Kebangkitan Negara Islam,
ia menuturkan, beberapa kondisi tertentu diperlukan untuk memenuhi
proses kebangkitan. Negara Islam akan menerapkan keadilan bagi umat.
Namun, negara tersebut tidak bisa dibangun dengan menerapkan sistem
lama; harus mengenalkan sistem yang baru.
Nah, kesadaran kaum Muslim untuk
menegakkan syariah dalam bingkai Khilafah Islam makin meningkat. Kaum
Muslim sudah mulai menyadari bahwa ketiadaan kehidupan islami yang di
dalamnya diterapkan syariah Islam oleh negara adalah sebuah kesalahan.
Keruntuhan Daulah Khilafah Islam pada 1924 sesungguhnya merupakan umm al-jara-’im (induk
kejahatan). Ketiadaan Khilafah Islam adalah pangkal dari segala
malapetaka, kerusakan dan problem yang menimpa umat Islam di seluruh
dunia. Mereka pun mulai sadar bahwa ada kewajiban dari Allah SWT untuk
berhukum pada hukum-hukum Allah secara kaffah. Itu tidak akan mungkin tanpa institusi Islam yang menerapkannya secara global, yakni Khilafah.
Walhasil, perubahan menuju Khilafah
adalah sebuah keniscayaan. Inilah yang harus dikawal oleh seluruh kaum
Muslim hingga Kekhilafahan itu tegak. [Humaidi]
0 komentar :
Posting Komentar