Konflik Sosial, Kapitalisme Biangnya
Konflik Sosial, Kapitalisme Biangnya
Fenomena konflik
sosial yang terjadi di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan.
Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, Gamawan Fauzi selama tahun
2012 jumlah konflik sosial mencapai 89 kasus. Padahal pada tahun
sebelumnya berjumlah 77 kasus saja. Kasus konflik sosial bagaikan
fenomena gunung es, yang terlihat hanya tataran permukaannya saja.
Padahal bisa dipastikan jumlah kasus sebenarnya pasti jauh lebih tinggi
dari itu. Predikat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang memiliki citra
ramah tamah dan sopan santun tampaknya sudah tergerus oleh perilaku
bangsanya sendiri. Bagaimana tidak, bentrokan antarwarga, bentrokan
antarmahasiswa, bentrokan mahasiswa dengan aparat sudah menjadi hal
lumrah yang menghiasi pemberitaan di media massa. Bahkan kasus konflik
sosial tersebut sampai menelan korban jiwa mencapai 28 korban jiwa dan
200 korban luka serius serta kerugian material dan non-material.
Banyak faktor yang melatari terjadinya
konflik sosial. Ada yang bersifat sederhana dan ada juga yang sifatnya
kompleks. Konflik sosial yang sifatnya sederhana biasanya terjadi akibat
sebab tunggal, seperti kesalahpahaman antarindividu atau perbedaan
pendapat yang disikapi dengan emosional. Adapun konflik sosial yang
sifatnya kompleks di dalamnya terkandung muatan politis.
Kepentingan-kepentingan kelompok tertentu pun bisa menjadi muara
lahirnya pertikaian antarkelompok. Pertikaian antarkelompok ini bisa
kita jumpai ketika menjelang Pilkada, seperti kasus yang terjadi di
Bangkalan Madura tahun 2012 kemarin. Bahkan tidak jarang berujung pada
perpecahan di tengah masyarakat. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap
proses hukum yang dirasa tidak adil juga memicu lahirnya konflik sosial
yang kemudian berujung pada sikap masyarakat yang lebih memilih main
hakim sendiri ketimbang memilih jalur hukum.
Keanekaragaman bangsa Indonesia tidak
kemudian dijadikan alasan untuk pemakluman konflik sosial. Bukankah
Indonesia memiliki konsep Bhineka Tunggal Ika yang dapat mempersatukan
bangsa Indonesia menjadi satu kesatuan meskipun berbeda-beda? Di sini
kita sudah bisa melihat bahwa dengan kebhinekaannya bangsa Indonesia
tidak dapat bersatu, karena sejatinya bangsa Indonesia di dalamnya
tercerai berai. Alhasil, kita pun mampu menilai bahwa Bhineka Tunggal
Ika telah gagal menyatukan bangsa Indonesia yang heterogen.
Pada kondisi saat ini masyarakat
memiliki ikatan tersendiri yang digunakan untuk mengikat mereka, seperti
ikatan kesukuan, ikatan kemaslahatan, sampai ikatan yang lebih tinggi
tingkatannya, yaitu ikatan nasionalisme. Dengan beragam ikatan tersebut,
umat hanya diikatkan dengan ikatan yang semu, sehingga wajar kita
dapati kerukunan yang semu pula. Ikatan-ikatan tersebut merupakan buah
dari penerapan sistem Kapitalisme yang telah sukses membuat sekat-sekat
di tengah-tengah masyarakat. Di sini pentingnya dakwah Islam untuk
mengubah paradigma berpikir masyarakat untuk menghapus ikatan-ikatan
semu tersebut; memahamkan masayarakat bahwa ikatan hakiki yang dapat
merekatkan umat Islam adalah ikatan akidah saja, bukan yang lain. Rabb yang satu, kitab yang satu, rasul yang satu, ikatan yang satu, dan negara yang satu yakni Khilafah Islamiyyah.WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Rismayanti Nurjannah; Aktivis Famous (Forum Aktivis Mahasiswi Regional Kampus); Tinggal di Geger Kalong Girang, Bandung]
0 komentar :
Posting Komentar